Nikah: Arti, Hukum, Rukun hingga Tujuan menurut Agama Islam
Afra wafiqah
27 november 2019
Berbicara tentang
nikah tentunya hal ini tidak lepas dari suatu bentuk ibadah kepada Allah, yang
dilakukan umat manusia untuk berkembang biak, melestarikan dan melanjutkan
kehidupan dari umat manusia itu sendiri.
Selain itu, sebagai
makhluk Allah yang juga diberikan naluri seksual yang menyukai lawan jenisnya,
maka dengan menikah inilah bisa memberikan jalan yang aman dan halal bagi kaum
laki-laki dan perempuan untuk saling hidup berpasangan dengan menjaga
kehormatannya masing-masing.
Dalam bahasa
keseharian kita, ada kosakata lain untuk menyebut kata nikah, yaitu, kawin.
Bagi yang belum menguasai ilmu bahasa tentu sedikit kesulitan menjelaskan dua
kosakata yang hampir punya makna mirip tersebut.
Dalam agama Islam,
melaksanakan suatu pernikahan tentu ada prosedurnya tersendiri. Namun, pada
kesempatan ini yang akan dipelajari bukanlah prosedurnya tersebut, melainkan
tentang arti dari nikah tersebut dan bagaimana hukumnya, dan apa hikmah dan
tujuan dari menikah itu sendiri? . supaya lebih jelas mari ikuti pembahasan di
bawah ini
A. Arti Nikah atau Kawin
Disebutkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dua kosakata yakni nikah dan kawin punya arti berbeda
namun mempunyai kesamaan dalam makna, arti kawin yakni membentuk suatu keluarga
dengan lawan jenisnya, sedangkan nikah adalah lebih dari itu, karena harus
sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Dalam bahasa Arab,
kata nikah bisa diartikan dengan kata ضَمَّ yang berarti
menggabungkan atau mempersatukan, juga bisa dengan kata وَطَءَ yang
berarti hubungan kelamin, dan juga bisa dengan kata عَقَدَ yang berarti suatu
akad. Adapun kajian fikih yang menjelaskan tentang nikah ini punya sebutan
dengan nama fikih munakahat.
Nikah mempunyai
pengertian yakni adanya suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrim dalam satu akad atau perjanjian, dimana hukum awal dari hubungan
tersebut haram, menjadi suatu hubungan yang halal.
Dimana hubungan
tersebut adalah bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawaddah
wa rahmah. Sehingga, masing-masing pihak mempunyai tanggung jawab
masing-masing yang harus dipenuhi.
Di Indonesia
pernikahan ini juga sudah di atur dalam sebuah undang-undang, yang menjelaskan
pengertian dari pernikahan atau perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian di atas
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Pernikahan Republik Indonesia
(UUPRI), Nomor 1 Tahun 1974. Inilah solusi yang diberikan oleh agama Islam
ketika ada seseorang yang memiliki kasih sayang dan rasa cinta pada lawan
jenisnya, agar tidak terjerumus dalam ranah perzinahan maka orang tersebut
haruslah menikah.
B. Dalil – Dalil tentang
Nikah
Adapun untuk
dalil-dalil tentang menikah ini sudah disebutkan baik dalam al-Qur’an maupun
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Berikut dalil-dalil yang menjelaskan dan
memerintahkan seseorang untuk menikah.
1. QS. adz-Dzaariyat
(51) ayat 49, yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara
berpasang-pasangan. Ayat tersebut berbunyi:
وَمِن
كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
Wa
min kulli syai in khalaqnaa zaujayni la’allakum tadzakkaruun(a)
Artinya:
“Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”
2. QS. an-Najm (53) ayat 45, yang
menyebutkan secara khusus bahwa pasangan tersebut adalah dari jenis laki-laki
dan perempuan. Dilanjutkan dengan QS. an-Nisa’ (4): 3, yang menyebutkan untuk
melanjutkan hubungan tersebut dengan menikah.
وَأَنَّهُۥ
خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ ٤٥
Wa
annahuu khalaqaz-zaujaynidz dzakara wal untsaa
Artinya:
“Dan bahwasanya
Dia-lah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan” (QS. an-Najm (53):
45
…
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ …. ٣
..fankihuu
maa thaaba lakum minan-nisaa’ i ….
Artinya:
“… maka nikahilah
perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi …” QS. an-Nisa’ (4): 3
3. QS. ar-Ruum (30): 21, ayat ini
menjelaskan bahwa suatu hubungan pernikahan merupakan salah satu kebesaran dan
kekuasaan Allah.
وَمِنۡ
ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ
إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ
لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Wa
min aayaatihii an khalaqa lakum min anfusikum azwaajal litaskunuu ilayhaa wa
ja’ala baynakum mawaddataw-wa rahmah(tan), inna fii dzaalika la aayaatil
liqaumiy yatafakkaruun(a)
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. ar-Ruum (30):
21)
4. Hadits Rasulullah saw. yang
memerintahkan kepada para pemuda untuk segera menikah bilamana sudah mampu dan
memerintahkan puasa bagi mereka yang belum mampu menjalankannya.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»،
Artinya:
Dari Abdullah berkata:
Bersabda pada kami Rasulullah saw.: “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian
yang (sudah) mampu menikah, maka segeralah menikah. Karena yang demikian itu
dapat menahan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Dan siapa yang tidak
mampu, maka hendaklah dirinya berpuasa; karena dengan puasa mampu digunakan
(untuk perisai) guna melindungi diri dari nafsu syahwatnya (HR. Muslim)
5. Hadits Rasulullah saw. yang
menjelaskan bahwa nikah adalah salah satu sunnah para rasul.
عَنْ
أَبِي أَيُّوبَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ: الحَيَاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ،
وَالنِّكَاحُ.
Artinya:
Dari Abu Ayyub
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “ Empat perkara yang termasuk sunnah para
rasul: rasa malu, memakai wewangian, memakai siwak, dan menikah.” (HR.
Tirmidzi)
C. Hukum Nikah
Melihat dalil-dalil
nikah di atas, tentunya dapat dirumuskan beberapa hukum mengenai nikah itu
sendiri. Hal ini, tentu disebabkan oleh keadaan dan kondisi dari seseorang itu
sendiri. Artinya, meskipun menikah adalah suatu ibadah yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Ada juga yang memang belum mampu dianjurkan untuk
berpuasa.
Dari sinilah hukum
nikah yang awalnya adalah sunnah bisa berubah-ubah sesuai keadaan dan kondisi
dari orang yang ingin menikah tersebut. Lalu apa saja hukum nikah tersebut? dan
kenapa bisa berubah?.
Hukum nikah tersebut
diantaranya adalah:
Pertama, Sunnah. Hal ini
diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah mampu, pantas, dan memiliki keinginan
untuk nikah, serta sudah mempunyai kelengkapan dan perbekalan untuk melanjutkan
kehidupannya ke jenjang pernikahan.
Kedua, Wajib. Menikah
akan menjadi wajib manakala seseorang sudah pantas, mampu untuk menikah, serta
sudah mempunyai kelengkapan dan bekal untuk nikah dan takut terjerumus dalam
jurang maksiat jika tidak segera melakukan pernikahan tersebut.
Ketiga, Makruh. Hal ini
diperuntukkan bagi mereka yang sudah berkeinginan untuk menikah. Namun, belum
mempunyai perlengkapan dan bekal untuk menikah. Termasuk ketika seseorang
mempunyai kekurangan fisik yang tidak normal, sehingga bisa mengganggu hubungan
harmonis dalam pernikahan.
Keempat, Haram. Hukum
nikah menjadi haram manakala seseorang tersebut mempunyai niat atau tujuan
untuk melanggar syariat. Artinya, seseorang menikah hanya untuk kesenangan
dirinya saja sehingga sudah tidak memperdulikan terwujudnya sebuah keluarga
yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Kelima, Mubah. Hal ini
diperuntukkan bagi mereka yang belum berkeinginan menikah, dan tidak
menimbulkan kerugian manakala pernikahan atau perkawinan tersebut dilaksanakan.
D. Rukun dan Syarat Nikah
Rukun dan syarat dalam
pernikahan ini mempunyai perbedaan diantara ulama fikih. Namun, perbedaan ini
terdapat dalam penempatan rukun dan syarat itu sendiri. Meskipun demikian
kebanyakan ulama utamanya yang berpegang pada madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa
rukun nikah ada lima:
1.
Akad atau Sighah (Ijab Kabul)
Akad nikah ini
merupakan sesuatu yang penting karena terjadi perjanjian antara dua belah pihak
yang melakukan akad dalam hal ini berupa ijab dan kabul. Ijab adalah sebuah
bentuk penyerahan dari pihak pertama, sedangkan kabul adalah bentuk penerimaan
dari pihak kedua.
Ijab kabul boleh
menggunakan bahasa asing, artinya melakukan ijab kabul juga boleh memakai
bahasa Indonesia. Contoh bentuk ijab atau penyerahan yang dilakukan oleh wali
perempuan ini adalah dengan perkataan : “Saya nikahkan anak saya yang bernama
si ‘A’ kepadamu dengan mahar sebuah seperangkat alat shalat dan emas 5 seberat
gram”
Dilanjutkan dengan
kabul atau penerimaan dari pihak laki-laki dengan perkataan: “ Saya terima
nikahnya dan kawinnya anak Bapak yang bernama si ‘A’ dengan sebuah mahar seperangkat
alat shalat dan emas seberat 5 gram”
Syarat-syarat dalam
menjalankan akad nikah adalah:
1.
Status
akad adalah dimulai dengan ijab kabul
2.
Perkataan
ijab kabul tidak boleh berbeda. Nama dan bentuk mahar harus diucapkan dengan
jelas dan sama dalam pengucapan ijab dan kabul.
3.
Tidak
terikat dengan waktu tertentu.
4.
Menggunakan
kata-kata yang jelas. Jika dalam bahasa Arab menggunakan kata nakaha atau zawaja, sedangkan
dalam bahasa Indonesia menggunakan kata nikah dan kawin. Tidak boleh dengan
menggunakan kata-kata sindiran (kinayah)
5.
Disaksikan
oleh dua orang saksi.
2.
Kedua Mempelai (Laki-Laki dan Perempuan)
Baik dari pihak
laki-laki ataupun perempuan, kedua mempelai ini tentu juga harus mempunyai
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam agama Islam.
Adapun syarat-syarat
dari kedua mempelai tersebut adalah:
1.
Kedua
mempelai beragama Islam
2.
Pihak
laki-laki dan perempuan mempunyai identitas yang jelas
3.
Pihak
laki-laki dan perempuan sedang tidak mempunyai halangan untuk melangsungkan
pernikahannya.
4.
Pihak
laki-laki dan perempuan mempunyai usia yang cukup untuk melangsungkan
perniahan.
5.
Pihak
perempuan adalah orang yang dikehendaki oleh pihak laki-laki dan sudah
mendapatkan persetujuan darinya (tidak dipaksa).
3.
Adanya Wali Perempuan
Wali di sini adalah
orang yang berhak menikahkan seorang perempuan. Adanya wali ini merupakan
sebuah keharusan yang tidak bisa ditinggalkan, seperti yang dijelaskan dalam
sabda nabi yang artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya seorang wali”
Lalu siapa saja orang
yang menjadi wali, orang yang berhak menjadi wali dari perempuan adalah:
1.
Ayah
( bapak kandung mempelai), jika tidak ada ayah maka kakek sebagai gantinya
2.
Penerima
wasiat
3.
Laki-laki
yang menjadi kerabat dekat dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah
perempuan tersebut.
4.
Orang
yang bijaksana dalam keluarga perempuan tersebut
5.
Pemimpin
setempat atau wali hakim
Syarat-syarat menjadi
wali ini adalah:
1.
Orang
yang dikehendaki bukan yang dibenci
2.
Laki-laki,
dalam hal ini perempuan atau banci tidak boleh menjadi wali
3.
Beragama
Islam
4.
Baligh
dan berakal sehat. anak kecil atau orang yang gila tidak berhak menjadi wali
5.
Memiliki
hak perwalian
6.
Adil
, tidak fasiq, senantiasa menjaga diri
7.
Tidak
terhalang wali lain
8.
Tidak
buta
9.
Merdeka,
bukan seorang budak
4.
Dua Orang Saksi
Adanya dua orang saksi
ini juga merupakan faktor penting, karena dengan adanya saksi tentu seseorang
bisa menjaga akad nikah ini dari timbulnya suatu fitnah. Seperti yang
dijelaskan dalam firman Allah swt. berikut ini:
فَإِذَا
بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعۡرُوفٖ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ
لِلَّهِۚ
Fa
idzaa balaghnaa ajalahunna fa amsikuuhunna bi ma’ruufin aw faariquuhunna bi
ma’ruufin wa asyhiduu dzawai a’dlin minkum wa aqiimus syahaadata lillaah
Artinya:
Apabila mereka telah
mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…. (QS. at-Thalaaq
(65): 2)
Adapun menjadi saksi
juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni:
1.
Muslim
2.
Dewasa
dan berakal sehat
3.
Berjumlah
minimal dua orang.
4.
Laki-laki
5.
Adil
6.
Merdeka
7.
Dapat
mendengar juga dapat melihat dengan sempurna
5.
Mahar Nikah
Mahar ini adalah suatu
pemberian yang bersifat wajib dari pihak laki-laki kepada mempelai perempuan
ketika dilangsungkannya akad nikah. Pemberian ini bisa berupa barang, uang
ataupun sebuah jasa yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, ketika
dilangsungkannya akad nikah.
Memberikan mahar ini
merupakan sebuah kewajiban, sehingga tanpa mahar suatu pernikahan tidaklah
dianggap sah. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang mahar ini adalah firman
Allah swt:
وَآَتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Wa
aatun nisaa a shaduqaatihinna nihlah, fa in thibna lakum ‘an syaiin minhu
nafsan fakuluuhu hanii am marii a(n)
Artinya:
“Berikanlah maskawin
(mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan
senang hati (QS. an-Nisa’ (4): 4 )
Dalam penentuan hukum,
para ulama bersepakat tidak ada ketentuan batas minimal dan batas maksimal
suatu mahar. Dengan demikian, meskipun mahar tersebut berjumlah sedikit
tetaplah mahar tersebut menjadi suatu yang wajib untuk ditunaikan. Dalam sebuah
hadits diriwayatkan
عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِرَجُلٍ: «تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيدٍ»
Artinya:
Dari Sahl bin Sa’d,
sesungguhnya Rasulullah saw, berkata kepada seorang laki-laki: Kawinlah engkau
meskipun dengan mahar (maskawin) cincin yang terbuat dari besi”.(HR. Bukhari)
E. Orang yang Tidak Boleh
Dinikahi (MAHRAM)
Dalam hukum Islam
tidak semua orang bisa melakukan pernikahan dengan sesukanya. Ada hukum yang
berlaku bahwa ada orang-orang yang tidak boleh atau haram untuk dinikahi. Hal
ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 23-24. Orang-orang
yang haram dinikahi ini disebut istilah mahram .
Mahram ini berlaku
untuk pihak laki-laki dan perempuan. Namun, dalam pembahasannya secara umum,
mahram yang sering dibahas adalah dari pihak perempuan. Hal ini disebabkan
kemauan untuk menikah yang datang dari pihak laki-laki terlebih dahulu untuk
mencari jodoh dengan perempuan yang dipilihnya
Dilihat dari keadaan
seseorang , orang yang haram dinikah terbagi menjadi dua.
Pertama, mahram yang haram untuk dinikahi selama-lamanya (mahram muabbad), yakni keturunan, saudara satu susuan, mertua perempuan, anak tiri jika ibunya sudah dicampuri, mantan menantu perempuan, dan mantan ibu tiri.
Pertama, mahram yang haram untuk dinikahi selama-lamanya (mahram muabbad), yakni keturunan, saudara satu susuan, mertua perempuan, anak tiri jika ibunya sudah dicampuri, mantan menantu perempuan, dan mantan ibu tiri.
Kedua, mahram
ghairu muabbad adalah mahram disebabkan menghimpuan dua perempuan yang
masih berstatus saudara. Semisal saudara sepersusuan kakak atau adiknya. Hal
ini boleh dinikahi tetapi setelah yang satu statusnya sudah bercerai atau
meninggal, dan yang lain dengan sebab istri orang dan sebab masa iddah.
Dari penjelasan
tentang mahram di atas yang merujuk pada QS. an-Nisa’ (4): 23 dan 24. Maka, ada
empat macam jenis mahram yang perlu kita ketahui bersama:
1.
Mahram karena memiliki satu garis keturunan :
a. Ibu, nenek dan
seterusnya ke atas
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah
c. Bibi, baik dari pihak bapak ataupun ibu.
d. Anak perempuan dari saudara laki-laki ataupun saudara perempuan
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah
c. Bibi, baik dari pihak bapak ataupun ibu.
d. Anak perempuan dari saudara laki-laki ataupun saudara perempuan
2.
Mahram dikarenakan hubungan pernikahan:
a. Ibu dari istri
(mertua)
b. Anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri (digauli)
c. Istri bapak atau ibu tiri
d. Istri anak atau menantu
b. Anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri (digauli)
c. Istri bapak atau ibu tiri
d. Istri anak atau menantu
3.
Mahram dikarenakan hubungan satu susuan:
a. Ibu yang menyusui
b. Saudara perempuan yang satu susuan
b. Saudara perempuan yang satu susuan
4.
Mahram dikarenakan permaduan (berpoligami):
a. Saudara perempuan
dari istri
b. Bibi perempuan dari istri
c. Keponakan perempuan dari istri
b. Bibi perempuan dari istri
c. Keponakan perempuan dari istri
F. Pernikahan atau
Perkawinan yang Dilarang
Dalam kajian nikah ini
ada juga suatu pernikahan atau perkawinan yang hukumnya tidak diperbolehkan
alias dilarang. Di antaranya adalah:
1.
Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah
menikah dengan waktu yang telah ditentukan (kawin kontrak) . Ada yang menyebut
juga dengan nikah sementara atau terputus. Misalnya, seorang laki-laki yang
menikahi perempuan hanya seminggu, sebulan, setahun atau bahkan sehari.
Hal ini disebut dengan
mut’ah karena pihak laki-laki hanya bermaksud untuk bersenang-senang sementara
waktu saja. Adapun dalil yang menjelaskan tentang dilarangnya nikah mut’ah ini
adalah hadits nabi berikut ini:
حَدَّثَنِي
الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ، أَنَّ أَبَاهُ، حَدَّثَهُ، أَنَّهُ كَانَ
مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ
النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ
كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا»،
Artinya:
Telah
menceritakan padaku Rabi’ bin Sabrah al-Juhani, sesungguhnya bapaknya
menceritakan, sungguh ketika dirinya sedang bersama Rasulullah saw. Beliau
bersabda: “Wahai umat manusia, sesungguhnya aku dahulu telah mengizinkan kalian
nikah mut’ah dengan wanita. Tetapi ketahuilah sesungguhnya
Allah telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat, maka siapa saja yang memiliki
istri yang diperoleh dari nikah mut’ah maka hendaklah ia ceraikan.” (HR.
Muslim)
2.
Nikah Muhallil
Nikah muhallil ini
adalah pernikahan yang dilakukan pihak perempuan yang telah ditalak tiga kali
oleh suaminya, sehingga diharamkan untuk rujuk pada suaminya. Kemudian
perempuan tersebut dinikahi laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan
dirinya untuk dinikahi lagi oleh mantan suaminya.
Nikah muhallil ini
jelas dilarang, dan jelas termasuk dosa besar. Rasulullah saw. pun melaknat
orang-orang yang berbuat seperti ini. Seperti dijelaskan dalam hadits beliau
berikut ini:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمُحِلَّ وَالمُحَلَّلَ لَهُ.
Artinya:
Dari
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullullah saw. melaknat muhallil (orang
yang menghalalkan nikah begitu saja) dan muhallal nya (bekas
suami yang menyuruh orang menjadi muhallil) (HR. Ahmad, Nasa’i, dan
Tirmidzi)
3.
Nikah Syighar
Nikah Syighar ini
adalah dimana seorang wali yang menikahkan anak perempuannya kepada seorang
laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut menikahkan pula dengan anak
perempuannya.
Nikah syighar ini
juga bisa dibilang nikah yang cuma-cuma, karena sudah ada kesepakatan antara
kedua pihak laki-laki (wali perempuan dan mempelai laki-laki) untuk menjadikan
anak perempuan mereka sebagai maharnya.
Sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadis nabi berikut ini:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ» وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ
ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar ra. :
“Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang adanya nikah syighar”. Syighar adalah
dimana seorang laki-laki mengawini anaknya atas suatu ketentuan bahwa laki-laki
lain mengawinkan pula anaknya padanya tanpa disertai mahar antara keduanya.
4.
Pernikahan Dalam Masa Iddah
Pernikahan dalam masa
iddah ini adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan. dimana perempuan
tersebut sedang dalam masa iddah baik karena perceraian atau karena meninggal
dunia. Seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Baqarah (2) ayat
…
وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ أَجَلَهُۥۚ …
Artinya:
“ … Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya…”
5.
Pernikahan Orang yang sedang Ihram
Pernikahan yang
dilakukan oleh seseorang ketika masih menjalani ibadah haji ataupun umrah, dan
belum memasuki masa tahallul. Hal ini seperti yang disabdakan oleh
Rasulullah saw.
عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ: «لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكَحُ، وَلَا يَخْطُبُ»
Artinya:
Dari ‘Utsman bin ‘Affaan,
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “ Orang yang sedang menjalankan ihram
tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan dan tidak boleh pula meminang” (HR.
Muslim)
G. Tujuan dan Hikmah
Pernikahan
Dari tinjauan singkat
dari penjelasan mengenai nikah di atas. Maka, bisa kita ambil kesimpulan akhir
tentang tujuan dan hikmah dari pernikahan itu sendiri.
Adapun tujuan
dari pernikahan adalah:
1.
Untuk
saling melengkapi antara hubungan laki-laki dan perempuan, dalam rangka
memperbanyak keturunan.
2.
Untuk
mendapatkan kasih sayang, kebahagiaan dan ketenangan hidup baik lahir maupun
batin.
3.
Menghalangi
diri dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh agama dan untuk menjaga
kehormatan diri manusia itu sendiri.
4.
Memenuhi
kebutuhan birahi (seksual) manusia secara sah dan diridhai oleh Allah swt.
Adapun hikmah dari
pernikahan adalah:
1.
Menikah
merupakan jalan atau sarana untuk memenuhi kebutuhan seksual atau biologis
manusia, baik laki-laki atau perempuan yang bukan mahram dalam suatu ikatan
perjanjian suci dan diridhai Allah swt.
2.
Melestarikan
dan memperbanyak keturunan, disamping juga untuk memelihara nasab manusia yang
memang diperhatikan oleh Islam.
3.
Timbulnya
naluri sebagai bapak dan ibu, dimana keduanya akan saling melengkapi dalam
hidup rumah tangga yang ramah bersama anak-anaknya.
4.
Sadar
akan tanggung jawab masing-masing, sehingga saling bersungguh-sungguh dalam
menjalin hubungan, menjalankan dan membagi tugas masing-masing sesuai dengan
ketentuan yang telah direncakan.
5.
Mempererat
dan memperkuat hubungan keluarga antara dua keluarga besar dari pihak mempelai
laki-laki dan perempuan.
Demikianlah penjelasan
mengenai masalah nikah, hukum dan lain-lainnya yang masih bersangkutan dengan
bab nikah menurut agama Islam, semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan
kita semuanya.. Aamin yaa rabbal ‘aalamiin..
SUMBER:
§ Al-Qur’an in Ms Word
v. 2.2
§ al-Maktabah
al-Syaamilah v. 3.48
§ Kamus Besar Bahasa
Indonesia Offline v.1.1
§ Muhammad Luthfi
Ubaidilah dan Fathur Rozak, Pendidikan Agama Islam Untuk SMA/SMK Kelas
XII , (Jakarta: CV. Arya Duta, 2011)
§ Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah (terj), (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980)
§ Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XII. , (Jakarta:
tp, 2015)
§ almanhaj.or.id
§ id.wikipedia.org
Nice
BalasHapus